Minggu, 27 Juni 2010

Qona'ah

A. Pengertian Qana’ah

Qana’ah artinya rela menerima dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, serta menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kurang yang berlebihan. Qana’ah bukan berarti hidup bermalas-malasan, tidak mau berusaha sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Justru orang yang Qana’ah itu selalu giat bekerja dan berusaha, namun apabila hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia akan tetap rela hati menerima hasil tersebut dengan rasa syukur kepada Allah SWT. Sikap yang demikian itu akan mendatangkan rasa tentram dalam hidup dan menjauhkan diri dari sifat serakah dan tamak. Nabi Muhammad SAW Bersabda :

" Abdullah bin Amru r.a. berkata : Bersabda Rasulullah SAW, sesungguhnya beruntung orang yang masuk Islam dan rizqinya cukup dan merasa cukup dengan apa-apa yang telah Allah berikan kepadanya. (H.R.Muslim)

orang yang memiliki sifat Qana’ah, memiliki pendirian bahwa apa yang diperoleh atau yang ada pada dirinya adalah ketentuan Allah.

Firman Allah SWT :

" Tiada sesuatu yang melata di bumi melainkan ditangan Allah rezekinya". (Hud : 6)

B. Qana’ah dalam kehidupan

Qana’ah seharusnya merupakan sifat dasar setiap muslim, karena sifat tersebut dapat menjadi pengendali agar tidak surut dalam keputusasaan dan tidak terlalu maju dalam keserakahan. Qana’ah berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator hidup seorang muslim. Dikatakan stabilisator, karena seorang muslim yang mempunyai sifat Qana’ah akan selalu berlapang dada, berhati tentram, merasa kaya dan berkecukupan, bebas dari keserakahan, karena pada hakekatnya kekayaan dan kemiskinan terletak pada hati bukan pada harta yang dimilikinya. Bila kita perhatikan banyak orang yang lahirnya nampak berkecukupan bahkan mewah, namun hatinya penuh diliputi keserakahan dan kesengsaraan, sebaliknya banyak orang yang sepintas lalu seperti kekurangan namun hidupnya tenang, penuh kegembiraan, bahkan masih sanggup mengeluarkan sebagian hartanya untuk kepentingan sosial. Nabi SAW bersabda dalam salah satu hadisnya :

„ Dari Abu Hurairah r.a. bersabda Nabi SAW : „ Bukanlah kekayaan itu banyak harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati". ( H.R.Bukhari dan Muslim)

karena hatinya senantiasa merasa berkecukupan, maka orang yang mempunyai sifat Qana’ah, terhindar dari sifat loba dan tamak, yang cirinya antara lain suka meminta-minta kepada sesama manusia karena merasa masih kurang pusa dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.

Disamping itu Qana’ah juga berfungsi sebagai dinamisator, yaitu kekuatan batin yang selalu mendorong seseorang untuk meraih kemajuan hidup berdasarkan kemandirian dengan tetap bergantung kepada karunia Allah.

Berkenaan dengan Qana’ah ini, Nabi Muhammad SAW telah memberikan nasehat kepada Hakim bin Hizam sebagaimana terungkap dalam riwayat berikut ini :

„ Dari Hakim bin Hizam r.a. Ia berkata : saya pernah meminta kepada Rasulullah SAW dan beliaupunmemberi kepadaku. Lalu saya meminta lagi kepadanya, dan beliaupun tetap memberi. Kemudian beliau bersabda : „ Hai Hakim ! harta ini memang indah dan manis, maka siap yang mengambilnya dengan hati yang lapang, pasti dieri berkat baginya, sebaliknmya siapa yang mengambilnya dengan hati yang rakus pasti tidak berkat baginya. Baaikan orang makan yang tak kunjung kenyang. Dan tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah. Berkata Hakim ; Ya Rosulullah ! Demi Allah yang mengutus engkau dengan kebenaran, saya tidak akan menerima apapun sepeningal engkau sampai saya meninggal dunia. Kemudian Abu Bakar RA. (sebagai Khalifah) memanggil Hakim untuk memberinya belanja ( dari Baitul Mal) tetapi ia menolaknya dan tidak mau menerima sedikitpun pemberian itu. Kemudian Abu Bakar berkata : Whai kaum muslimin ! saya persaksikan kepada kalian tentang Hakim bahwa saya telah memberikan haknya yang diberikan Alah padanya". (H.R.Bukhari dan Muslim )

Qana’ah itu bersangkut paut dengan sikap hati atau sikap mental. Oleh karena itu untuk menumbuhkan sifat Qana’ah diperlukan latihan dan kesabaran. Pada tingkat pemulaan mungkin merupakan sesuatu yang memberatkan hati, namun jika sifat Qana’ah sudah membudaya dalam diri dan telah menjadi bagian dalam hidupnya maka kebahagiaan didunia akan dapat dinikmatinya, dan kebahagiaan di akhirat kelak akan dicapainya. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam salah satu hadisnya :

"Qana’ah itu adalah simpanan yang tak akan pernah lenyap". (H.R.Thabrani)

demikianlah betapa pentingnya sifat Qana’ah dalam hidup, yang apabila dimiliki oleh setiap orang dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari akan mendorong terwujudnya masyarakat yang penuh dengan ketentraman, tidak cepat putus asa, dan bebas dari keserakahan,seta selal berfikir positif dan maju.

Betapa tidak, karena sebenarnya dalam Qana’ah terkandung unsur pokok yang dapat membangun pribadi muslim yang menerima dengan rela apa adanya, memohon tambahan yang pantas kepada Allah serta usahadan ikhtiar, menerima ketentuan Allah dengan sabar, bertawakkal kepada Allah, dan tidak tertarik oleh tipu daya dunia.


Sabtu, 19 Juni 2010

Tawadhu

Sikap merendah tanpa menghinakan diri- merupakan sifat yang sangat terpuji di hadapan Allah dan seluruh makhluk-Nya. Sudahkah kita memilikinya?

Merendahkan diri (tawadhu’) adalah sifat yang sangat terpuji di hadapan Allah dan juga di hadapan seluruh makhluk-Nya. Setiap orang mencintai sifat ini sebagaimana Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Sifat terpuji ini mencakup dan mengandung banyak sifat terpuji lainnya.

Tawadhu’''adalah ketundukan kepada kebenaran dan menerimanya dari siapapun datangnya baik ketika suka atau dalam keadaan marah. Artinya, janganlah kamu memandang dirimu berada di atas semua orang. Atau engkau menganggap semua orang membutuhkan dirimu.

Lawan dari sifat tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah mendefinisikan sombong dengan sabdanya:
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud z)

Jika anda mengangkat kepala di hadapan kebenaran baik dalam rangka menolaknya, atau mengingkarinya berarti anda belum tawadhu’ dan anda memiliki benih sifat sombong.

Tahukah anda apa yang diperbuat Allah subhanahu wa ta’ala terhadap Iblis yang terkutuk? Dan apa yang diperbuat Allah kepada Fir’aun dan tentara-tentaranya? Kepada Qarun dengan semua anak buah dan hartanya? Dan kepada seluruh penentang para Rasul Allah? Mereka semua dibinasakan Allah subhanahu wa ta’ala karena tidak memiliki sikap tawadhu’ dan sebaliknya justru menyombongkan dirinya.


Tawadhu’ di Hadapan Kebenaran

Menerima dan tunduk di hadapan kebenaran sebagai perwujudan tawadhu’ adalah sifat terpuji yang akan mengangkat derajat seseorang bahkan mengangkat derajat suatu kaum dan akan menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi dan kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash: 83)

Fudhail bin Iyadh t (seorang ulama generasi tabiin) ditanya tentang tawadhu’, beliau menjawab: “Ketundukan kepada kebenaran dan memasrahkan diri kepadanya serta menerima dari siapapun yang mengucapkannya.” (Madarijus Salikin, 2/329).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak akan berkurang harta yang dishadaqahkan dan Allah tidak akan menambah bagi seorang hamba yang pemaaf melainkan kemuliaan dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan akan Allah angkat derajatnya.” (Shahih, HR. Muslim no. 556 dari shahabat Abu Hurairah z)

Ibnul Qayyim t dalam kitab Madarijus Salikin (2/333) berkata:

“Barangsiapa yang angkuh untuk tunduk kepada kebenaran walaupun datang dari anak kecil atau orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya maka kesombongan orang tersebut hanyalah kesombongan kepada Allah karena Allah adalah Al-Haq, ucapannya haq, agamanya haq. Al-Haq datangnya dari Allah dan kepada-Nya akan kembali. Barangsiapa menyombongkan diri untuk menerima kebenaran berarti dia menolak segala yang datang dari Allah dan menyombongkan diri di hadapan-Nya.”

Perintah untuk Tawadhu’

Dalam pembahasan masalah akhlak, kita selalu terkait dan bersandar kepada firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasul teladan yang baik.” (Al-Ahzab: 21)

Dalam hal ini banyak ayat yang memerintahkan kepada beliau untuk tawadhu’, tentu juga perintah tersebut untuk umatnya dalam rangka meneladani beliau. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara: 215).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat zhalim atas yang lain.” (Shahih, HR Muslim no. 2588).

Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kepada kita bahwa tawadhu’ itu sebagai sebab tersebarnya persatuan dan persamaan derajat, keadilan dan kebaikan di tengah-tengah manusia sebagaimana sifat sombong akan melahirkan keangkuhan yang mengakibatkan memperlakukan orang lain dengan kesombongan.

Macam-macam Tawadhu’

Telah dibahas oleh para ulama sifat tawadhu’ ini dalam karya-karya mereka, baik dalam bentuk penggabungan dengan pembahasan yang lain atau menyendirikan pembahasannya. Di antara mereka ada yang membagi tawadhu’ menjadi dua:
1. Tawadhu’ yang terpuji yaitu ke-tawadhu’-an seseorang kepada Allah dan tidak mengangkat diri di hadapan hamba-hamba Allah.
2. Tawadhu’ yang dibenci yaitu tawadhu’-nya seseorang kepada pemilik dunia karena menginginkan dunia yang ada di sisinya. (Bahjatun Nazhirin, 1/657).

Sabtu, 12 Juni 2010

Jangan Kau Warnai Hitam Rambutmu

Didalam sebuah hadits dari Nabi saw bersabda,”Barangsiapa yang memiliki rambut hendaklah menghormatinya.” (HR. Abu Daud) serta hadits-hadits lain yang menyatakan tentang hal itu dan sebagian ulama pun telah menshahihkannya.

Bentuk-bentuk penghormatan itu beraneka ragam dan hal itu berlaku bagi kaum laki-laki dan perempuan dengan segala sesuatu yang pantas bagi rambut, seperti : menyisirnya, meminyakinya dan mewarnainya untuk menyembunyikan uban yang ada.

Para ulama klasik telah membicarakan tentang pencatan rambut dengan warna hitam dan kebanyakan mereka melarangnya akan tetapi dalil-dalil mereka diarahkan kepada kaum laki-laki atau untuk mengelabui seperti seorang wanita tua yang ingin tampak lebih muda agar ada yang berminat menikahinya.

Dianjurkan menggunakan pacar/ inai, sebagaimana perbuatan Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah dengan sanad yang tsiqoh (bisa dipercaya). Juga perbuatan Abu Bakar dan Umar. Namun dimakruhkan menggunakan warna hitam sebagaimana pernyataan Ahmad ketika ditanya tentang hal itu,”Apakah makruh menggunakan pewarna hitam?’ dia menjawab,’betul, demi Allah berdasarkan sabda Nabi saw tentang ayahnya Abu Bakar,”Jauhilah warna hitam.” (HR. Muslim) dan sebabnya—sebagaimana diterangkan oleh sebagian mereka—bahwa seorang yang sudah tua renta apabila mewarnai rambutnya dengan warna hitam maka itu adalah penyakit. Ishaq bin Rohuyah memberikan keringanan (rukhshah) kepada para wanita yang ingin berhias untuk suaminya serta tidak memakruhkannya jika hendak berperang.

Sementara menurut para ulama Syafi’i adalah dianjurkan mencat rambut bagi seorang laki-laki dan wanita dengan warna kuning atau merah namun diharamkan menggunakan warna hitam, demikianlah pendapat yang benar menurut mereka.
Dan diantara dalil yang melarang mencat rambut dengan warna hitam—disamping hadits ayahnya Abu Bakar—adalah,”Akan terdapat di akhir zaman suatu kaum yang mencat dengan warna hitam bagai tembolok burung dara dan mereka tidaklah mencium bau surga.” (HR. Abu Daud dan Nasai dengan sanad jayyid). (Fatawa al Azhar juz X hal 256)

Wallahu A’lam

Jumat, 04 Juni 2010

Jangan Kau Cabuti Uban Mu

Dimakruhkan mencabuti uban, sebagai mana di riwayatkan oleh 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa ia berkata, "Rasulullah SAW telah melarang mencabut uban. "Rasulullah juga bersabda, "Uban itu cahaya Islam. "Dalam redaksi lain ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Jangan kau cabut uban itu! Tidaklah seorang Muslim membiarkan ubannya melainkan uban itu akan menjadi cahaya baginya nanti di akhirat. "Dalam hadits Yahya ada tambahan redaksi, "Maka Allah akan menuliskan kebaikan baginya dan menghapus kesalahan (dosa)-nya dengan uban-uban itu. "Dalam satu tafsir tentang ayat,"...dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan," (QS. Faathir [35]:37) di sebutkan bahwa yang dimaksud dengan peringatan dalam ayat itu adalah uban. Maka, bagaimana mungkin seseorang akan menjadi insaf akan hari esok (hari kiamat), lalu bersiap diri untuk menemuinya, sedang ubannya saja, yang merupakan qadar Tuhan terhadapnya dan menjadi peringatan baginya, di cukur atau di cabutnya.
Mencabuti uban bisa berarti menentang takdir Allah, benci atas perbuatan-Nya, dan tidak rela atas ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Orang yang mencabutnya berarti lebih senang dengan gaya hidup orang muda dan memilih untuk tampil muda. Ia enggan untuk mendapatkan kehormatan, kewibawaan dan cahaya Islam, serta tidak mengikuti akhlak Nabi Ibrahim (kekasih Allah). Diriwayatkan dalam sebagian kitab bahwa orang yang pertama beruban dalam Islam adalah Nabi Ibrahim (kekasih Allah). Diriwayatkan pula dari Nabi Muhammad bahwa beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah malu kepada orang yang beruban." Artinya, Allah malu untuk mengadzab orang yang menjadikan ubannya sebagai peringatan baginya.

Rabu, 12 Mei 2010

Memotong Alis bagi Wanita

Makruh bagi wanita memotong alis dan bulu-bulu yang tumbuh di wajahnya. Tapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa hal itu boleh dilakukan jika suaminya memintanya, dan takut kalau tidak dipenuhi akan menyebabkan suaminya berpaling darinya dan menikahi wanita lain, lalu rumah tangganya hancur karenanya.
Oleh karena itu, demi kemaslahatan, kaum wanita boleh saja melakukannya, sama halnya dengan berhias dengan bermacam pakaian, memakai wewangian, dan bercanda dengan suami mereka.
Namun berbeda kecaman Rasulullah terhadap wanita yang suka mencabuti bulu-bulu wajahnya
{ Riwayat ini di sebutkan oleh Abu 'Ubaidah }
itu hanyalah ditujukan kepada mereka yang melakukannya bukan untuk suaminya, melainkan untuk laki-laki lain dengan maksud menarik perhatian menggoda mereka.
Wallahu A'lam

Sabtu, 27 Februari 2010

7 Tangisan Menghiasi Kehidupan Kita


Menangis karena takut kepada Allah, menangis karena syukur kepada Allah, semua bentuk tangisan karena Allah swt merupakan salah satu sikap Rasulullah saw. Dengarlah hadist riwayat Ibnu Hibban dari kisah Ubaid bin Umar rahimullah, ketika ia bertemu dengan isteri Rasulullah saw, Aisyah radhiallahu anha, dan bertanya, "Wahai Aisyah beritakanlah kepadaku, saaat-saat yang paling engkau kagumi dari hidup Rasulullah saw?" Aisyah terdiam agak lama, lalu berkata, "Suatu malam, Rasul pernah mengatakan, "Ya Aisyah, biarkan aku menyembah Allah swt malam ini."
Aisyah mengatakan, "Demi Allah, aku ingin sekali berada dalam di dekatmu. Tapi aku juga sangat ingin dengan sesuatu yang menyenangkanmu." Rasulullah saw lalu pergi berwudhu dan mendirikan shalat. Aisyah menceritakan, bahwa sepanjang shalatnya, "Rasulullah saw terus-menerus menangis." Dijelaskannya, "Rasul saat duduk dalam shalatnya terus menerus menangis sampai basah janggutnya. Lalu beliau tetap menangis sampai air matanya menyentuh tanah." Hingga datanglah Bilal mengumandangkan azan subuh. Saat Bilal melihat Rasulullah saw menangis, ia pun bertanya, "Wahai Rasulullah, kenapa engkau menangis? Bukankah Allah swt telah mengampuni seluruh dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?" Rasulullah saw menjawab, "Apakah aku tidak menjadi hamba yang bersyukur? Sungguh malam ini telah turun firman Allah swt. Celakalah bagi orang yang membacanya tapi ia tidak memikirkan kandungannya " Surat Ali imran : 190-191 "


Hasan Al Bashri suatu ketika melewati seorang pemuda yang sedang tertawa terbahak-bahak. Pemuda itu sedang duduk berada di tengah teman-temannya. Hasal Al Bashri mendekatinya dan bertanya, "Anak muda, apakah engkau telah melewati as shiraat (jembatan)?" Pemuda itu menjawab, "belum." Hasan Al Bashri bertanya lagi, "Apakah engkau tahu kelak di surga atau neraka kah tempat kembalimu?" Pemuda itu menjawab lagi. "tidak tahu." Hasan Al bashri lalu mengatakan, "Mengapa engkau tertawa sampai seperti ini?!"

Sungguh Rasulullah saw berpesan, "Takkan tersentuh api neraka, seseorang yang menangis karena takut kepada Allah...(HR.Turmudzi)
Tangisan karena Allah adalah salah satu dari tujuh tangisan yang di sebutkan Yazin bin Maisarah rahimahullah. Menurutnya, Tangisan itu ada tujuh: "Tangisan senang, Tangisan sedih, Tangisan takut, Tangisan riya, Tangisan sakit, Tangisan syukur, Tangisan takut karena Allah."
Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma mengatakan, "Air mataku menetes karena takut kepada Allah, itu lebih ku sukai daripada bershadaqah seribu dinar."

Mari kita bertanya pada diri kita sendiri :
Berapa banyak tetesan air mata kita yang keluar selain karena Allah?
Berapa banyak tetesan air mata kita yang jatuh karena takut kepada Allah?




Rabu, 10 Februari 2010

Degradasi Moral Emansipasi Wanita




Jangan terpedaya dengan pemikiran dan pola hidup Barat. Semua itu tak lain adalah upaya menipu kita agarkita meninggalkan agama kita secara perlahan-lahan dan mereka menguasai kekayaan kita. Islam, dengan sistem keluarganya, sangat sesuai dengan wanita. Karena, sesuai dengan tabiatnya, wanita harus menetap di rumah. Mungkin kalian akan bertanya, "Mengapa?" karena Allah menciptakan kaum laki-laki dengan tanggung jawab, beban pikiran dan beban yang harus di tanggungnya lebih berat.
Allah menciptakan kaum perempuan dengan perasaan yang sangat lembut, tidak memiliki kekuatan fisik seperti yang di miliki kaum laki-laki. Kaum perempuan, pada batas tertentu, menerima tabiat laki-laki. Oleh karenanya perempuan lebih pantas tetap dirumah sebagai ketenangan baginya. Perempuan yang mencintai suami dan anak-anaknya tidak akan meninggalkan rumah tanpa alasan dan tidak akan pernah membaur dengan laki-laki lain diluar. Sembilan puluh sembilan persen perempuan Barat mengalami degredasi moral karena egoisme mereka dan hilangnya rasa takut kepada Allah.
Keluarnya kaum wanita Barat untuk bekerja membuat laki-laki melakukan peranan kaum wanita. Kaum laki-laki berdiam di rumah mencuci piring, merawat bayi, dan menenggak minuman keras. Aku tahu bahwa Islam tidak melarang laki-laki membantu isterinya di rumah, bahkan itu dianjurkan, akan tetapi tidak harus sampai terjadi pergeseran peran antara kaum wanita dan prianya.
Bahkan kalau kita melihat seperti itu banyak anak-anak mereka yang kehilangan arah dalam memilih kehidupan yang hakiki. Banyak di antara anak-anak mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah dalam hal negatif, karena mereka tidak di bimbing dalam perjalanan hidup ini, yang di sebabkan orang tua mereka sibuk dan asik di luar rumah.
Mari kita renungkan apa peran kita sesungguh nya..




print this page Print this page